Dikisahkan bahwa dahulu kala ada seorang lelaki sedang merenung di tepi sungai. Ia merenung akan nasib perutnya yang sudah tiga hari tidak diisi apapun. Ketika merenung itu tiba tiba di depannya ada buah delima yang hanyut terbawa air. Seketika muncul keinginan untuk mengambil dan memakan buah itu. Ia pun menceburkan diri ke dalam sungai, berenang untuk mengambil buah itu dan memakannya.
Tetapi saat setelah makan buah itu , tiba tiba ia ingat bahwa buah itu ada pemiliknya, sedang ia telah memakan sesuatu tanpa izin dari pemiliknya. Lalu ia menyusuri tepi sungai itu ke hulu. Setelah beberapa lama berjalan akhirnya ketemulah ia dengan pohon delima dan segera mencari pemilik pohon tersebut.
Rumah itu sangat sederhana. Ia lalu mengetuk pintu. Beberapa saat kemudian keluarlah tuan rumah. Kemudian ia dipersilahkan masuk, lalu berkata bahwa ia telah memakan buah delima dan meminta agar sang bapak menghalalkan untuknya. Tetapi sang bapak memberikan dua syarat, yaitu agar ia mau memelihara kebun pak tua itu selama dua tahun dan agar ia mau menikahi anak gadisnya yang buta, tuli dan bisu.
Dengan berat hati, karena mengharap ridho Allah SAW tentunya agar pak tua mau menghalalkan buah delima , ia mau menerima syarat yang diberikan. Selama dua tahun , dengan sabar ia merawat kebun delima pak tua. Sesekali membayangkan wajah anak pak tua yang katanya buta, tuli dan bisu itu sebagai calon istrinya.
Singkat cerita pemuda itu sedih karena hendak memiliki istri yang cacat total. Tetapi ia lega karena buah yang tidak sengaja ia makan telah halal. Tetapi ia kembali bersedih membayangkan calon istrinya. Ia sama sekali tidak bisa tersenyum barang sebentar. Ia hanya berzikir kepada Allah, agar ia diberi kesabaran menghadapi ujian ini. Setelah akad nikah selesai, lelaki itu dipersilahkan masuk kamar pengantin, dimana sang istri telah menunggunya.
Dengan memantapkan hati ia mencoba membuka cadar yang masih menutupi wajah sang istri. Dan betapa terkejutnya ia demi melihat seorang gadis yang cantik jelita tersenyum kepadanya. Serta merta ia pun menjauhi wanita itu dan berkata :
‘Si… si.. siapa kau?’
‘Akulah istrimu, suamiku.’
‘Bu.. bu.. bukan. Kau bukan istriku . Karena istriku buta, tuli dan bisu. Kau terlalu cantik dan suaramu terlalu merdu buatku.
Lelaki itupun menghambur keluar mencari mertuanya dan bertanya :
‘Bapak, bukannya istriku seorang yang buta, tuli dan bisu?’
‘Ya betul, isrimu uta, tuli dan bisu. Kenapa?’
‘Tapi , mengapa yng dikamar pengantin sangat berbeda?’
Mertuanya pun tertawa sampai gigi gerahamnya terlihat, Ia lalu berkata :
‘Anakku, istrimu memang betul buta, artinya matanya selalu terpejam dari pandangan-pandangan yang tidak halal untuk di pandang. Ia juga tuli, artinya ia selalu menutup telinganya dari pendengaran yang tidak bermanfaat. Ia juga bisu, artinya ia tidak pernah mengumbar kata katanya kecuali yang sifatnya ma’ruf. Lisannya lebih banyak dipakai untuk menyebut asma-Nya. Dialah istrimu. Datangilah ia segera karena ia pasti menangis sedih karena kamu tinggalkan begitu saja.’
‘Jadi..?’
‘Ya. Kamu berhak mendapatkannya anakku. Anak sholeh sepertimulah yang selama ini aku dambakan mendampingi anakku. Sekian lama aku menunggu kedatangannmu dan janji Allah ternyata benar engakau pun datang. Semoga Allah memberkahi pernikahan kalian. Selamat datang di rumah kami.’
Akhirnya sang mertua memeluk erat sang menantunya. Dari keduanya menetes air mata keharuan. Dan konon dari pernikahan dua insan ini lahirlah seorang fuqoha’ ternama, yakni al-Imam as Syafi’i.