Makalah Pengertian, Eksistensi dan Cara Kerja Ilmu Pengetahuan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu memiliki kedudukan yang mendasar dalam kehidupan manusia. Hampir setiap aktivitas manusia dikendalikan oleh ilmu. Perkembangan ilmu sendiri sangatlah pesat mengiringi tingkat tuntutan kebutuhan manusia baik yang yang bersifat material, teknis, kemanusiaan, kemasyarakatan, maupun bersifat spiritual dan religius. Pada dasarnya tujuan pokok lahirnya ilmu adalah untuk meningkatkan taraf hidup kemanusiaan. Belakangan ini, terutama ilmu-ilmu kealaman lebih banyak digunakan untukhal-hal yang mengancam kehidupan manusia seperti pembuatan senjata nuklir.

Berdasarkan keragaman dan dinamika kebutuhan manusia, berkembanglah disiplin-disiplin ilmu, yaitu ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial-humaniora, dan ilmu-ilmu agama. Ketiga disiplin ilmu tersebut, terutama terkait dengan sifat objek kajiannya, memiliki kekhasan epistimologis masing-masing. Kekhasan itu tergambar dalam cara kerja ilmu-ilmu. Cara kerja antar ilmu-ilmu jelas memiliki perbedaan, meskipun dalam tingkatan tertentu memiliki titik-titik singgung.

B. Rumusan Masalah

  1. Apa hakekat atau pengertian ilmu dan pengetahuan ?
  2. Bagaimana eksistensi ilmu pengetahuan ?
  3. Bagaimana cara kerja ilmu-ilmu: ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial-humaniora, dan ilmu-ilmu agama ?
  4. Bagaimana hubungan ketiga ilmu dan aplikasinya dalam pengembangan keislaman ?

C. Tujuan Penulisan

  1. Memenuhi tugas filsafat ilmu.
  2. Mengerti dan memahami pengertian dan eksistensi ilmu pengetahuan.
  3. Mengerti dan memahami cara kerja ilmu-ilmu.
  4. Mengerti dan memahami hubungan antar ilmu.
  5. Dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu dalam pengembangan keislaman pada kehidupan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Ilmu Pengetahuan

Istilah ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Arab yakni “alima ya’lamu ‘ilman” yang berarti mengerti atau memahami benar-benar. Dalam bahasa Inggris ilmu berasal dari kata science, yang berasal dari bahasa Latin scienta dari bentuk kata kerja scire, yang berarti mempelajari dan mengetahui. Ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu atau bagian dari pengetahuan.

Secara khusus, Suparlan Suhartono mengemukakan tentang perbedaan makna antara ilmu dan pengetahuan. Dengan mengambil rujukan dari Webster”s Dictionary, menjelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah suatu yang menjelaskan adanya suatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari melalui pengalaman-pengalaman, kesadaran, informasi, dan sebagainya. Sedangkan ilmu (science) didalamnya terkandung adanya pengetahuan yang pasti, lebih praktis, metodis, ilmiah dan mencakup kebenaran umum mengenai obyek studi yang lebih bersifat fisis (natural). Dapat dipahami bahwa pengetahuan mempunyai cakupan lebih luas dan umum daripada ilmu. Oleh karena itu, keberadaan ilmu dan pengetahuan tidak boleh dipisahkan, sama pentingnya bagi hidup dan kehidupan. Ilmu membentuk daya intelegensia, yang melahirkan adanya skill (keterampilan) yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan pengetahuan membentuk daya moralitas kehidupan yang kemudian melahirkan tingkah laku manusia.

Ilmu dan pengetahuan memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Dimana ilmu adalah hasil dari pengetahuan dan pengetahuan hasil tahu (ilmu) manusia terhadap obyek yang dihadapinya. Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya menghasilkan pengetahuan. Adapun aktivitas yang dapat mengembangkan pengetahuan dipengaruhi oleh faktor bahasa dan penalaran. Melalui bahasa manusia tidak hanya berkomunikasi, namun dapat memperdebatkan temuan dan pengetahuan, dapat saling menambah dan berbagi pengetahuaan yang dimilikinya. Dalam penalaran, manusia dapat mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, dengan upaya pengantisipasian terhadap gejala-gejala yang terjadi, sehingga pengetahuan manusia senantiasa berubah lebih dinamis, progresif dan inovatif.

Van Melsen mengemukakan ciri yang menandai ilmu, yaitu:

  1. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis koheren. Berarti adanya sistem dalam penelitian (metode).
  2. Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, erat kaitannya dengan tanggung jawab ilmawan.
  3. Universalitas ilmu pengetahuan.
  4. Objektivitas: setiap ilmu terpimpin oleh obyek, tidak didistorsi prasangka subyektif.
  5. Ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan, sehingga dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan.
  6. Progresivitas: suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah sungguh-sungguh, bila mengandung pertanyaan dan menimbulkan problem baru.
  7. Kritis: tidak ada teori ilmiah yang difinitif, setiap teori terbuka bagi suatu peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru.
  8. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan antarateori dengan praktis.

B. Eksistensi Ilmu Pengetahuan

Cara yang digunakan untuk menjelaskan identitas ilmu pengetahuan dengan menyoroti tentang keberadaan ilmu pengetahuan tersebut, yaitu:

  • Objek Ilmu Pengetahuan
    Obyek adalah sasaran pokok atau tujuan penyelidikan keilmuan. Objek penyelidikan dari ilmu terdiri dari dua objek :
    Objek material: suatu hal yang menjadi sasaran penyelidikan atau pemikiran sesuatu yang di pelajari, baik bersifat konkret maupun abstrak. Objek material yang bersifat konkret adalah objek yang secara fisik dapat terlihat dan terasa oleh alat peraba. Objek ini paling banyak ditemui disekeliling kita, baik benda hidup maupun mati. Objek material yang bersifat abstrak misalnya nilai-nilai, ide-ide, paham, aliran, sikap, hal-hal, masalah, konsep-konsep, dan sebagainya.
    Objek formal: merupakan sudut pandang atau cara memandang terhadap objek material, termasuk prinsip-prinsip yang digunakan. Berarti bahwa hakikat, esensi dan objek materialnya yang menjadi objek formal filsafat.
    Objek material mempunyai segi yang jumlahnya tak terhitung. Sedangkan kemampuan manusia (akal pikiran) bersifat terbatas. Dalam rangka memperoleh pengetahuan yang benar dan pasti mengenai suatu objek, dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan akal pikiran manusia, maka perlu dilakukan pembatasan-pembatasan. Pembatasan tersebut meliputi: jenis objek dan titik pandang (menurut segi mana objek material itu diselidiki). Penentuan akan jenis objek itulah yang lalu menjadi objek materi dan penentuan titik pandang itu kemudian menjadi objek formal menurut sudut pandang tertentu dari objek material.

Objek formal merupakan objek yang akan menjelaskan pentingnya arti, posisi, dan fungsi objek di dalam ilmu pengetahuan. Objek formal mempunyai kedudukan dan peran yang mutlak dalam menentuan suatu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Selanjutnya menentukan jenis ilmu pengetahuan yang tergolong bidang studi apa, dan sifat ilmu pengetahuan yang tergolong kuantitatif dan kualitatif. Dengan objek formal ruang lingkup ilmu pengetahuan bisa ditentukan.

Menurut objek formalnya ilmu pengetahuan itu justru berbeda-beda dan berjenis-jenis bentuk dan sifatnya. Karena kajian materinya berupa hal-hal yang fisik kebendaan dan ditinjau dari segi pandangan yang kuantitatif, maka tergolong ke dalam ilmu pengetahuan alam. Kajian materinya berupa hal-hal yang nonfisik, seperti manusia dan masyarakat, yang ditinjau dari segi kualitatif, maka tergolong ke dalam ilmu pengetahuan sosial dan budaya. Secara khusus menyangkut objek materi agama, tergolong ke dalam ilmu pengetahuan keagamaan atau teologi.

  • Metode Ilmu Pengetahuan
    Metode adalah cara bertindak menurut aturan tertentu dengan tujuan agar aktivitas dapat terlaksana secara rasional dan terarahagar tujuan keilmuan yang berupa kebenaran ilmiah yang objektif dan dapat dibuktikan bisa tercapai dengan sebaik-baiknya. Dengan metode ilmiah, kedudukan pengetahuan berubah menjadi ilmu pengetahuan, yaitu menjadi lebih khusus dan terbatas lingkup studinya.

Menurut Hatta metode untuk menyelidiki dunia lahir ada tiga :

  1. Metode Abstraksi (Nomothetisch) untuk menentukan hukum-hukum umum yang berlaku dalam segala kenyataan dan keadaan bagi sesuatu sehingga merupakan metode induktif yang berupaya membuat generalisasi. Ada tiga jalan untuk mengetahui pengertian atau sifat hukum yang umum, yaitu dengan memperbandingkan, dengan eksperimen, dengan memperhatikan
  2. Metode Historika (Ideographisch) untuk mengetahui hal-hal khusus, untuk menerangkan keadaan yang terjadi di masa lalu, yang tidak terulang kembali guna mencari atau menemukan sebab akibat.
  3. Metode Sosiologi merupakan gabungan metode abstraksi dan metode historika. Metode ini mempertalikan hukum dengan sejarah.

Dalam ilmu metode penelitian (research) alat untuk menyelidiki atau untuk mengumpulkan informasi data dan hal-hal yang diperlukan si peneliti dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: dengan observasi, kuesioner, interview, dan lain-lain yang lebih mengarah kepada metode statistik, berupa perhitungan-perhitungan angka secara generalisasi dan pada akhirnya menghasilkan suatu informsi yang tepat dan terperinci. Sehingga akan memperkuat data prediksi, dapat menjelaskan sebab akibat terjadinya sesuatu, dapat menggambarkan suatu contoh fenomena.

Sistem Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan-pengetahuan yang terkandung di dalamnya harus saling berhubungan secara fungsional dalam satu sistem. Fungsi sistem bagi ilmu pengetahuan adalah mutlak adanya. Suatu sistem berfungsi aktif, apabila menggerakkan dan mengarahkan langkah-langkah yang telah ditentukan di dalam metode agar daya kerja metode konsisten, sehingga pencapaian tujuan kebenaran ilmiah lebih terjamin.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan
Kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif, di dalamnya terkandung sejumlah pengetahuan menurut sudut pandang yang berbeda -beda tetapi saling bersesuaian.

Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia mengenai objek. Jadi kebenaran itu ada pada seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak sumber. Sumber tersebut sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran.

Ukuran kebenaran dalam filsafat bersifat logis tidak empiris, maka ukuran kebenarannya adalah logis tidaknya pengetahuan itu. Sementara dalam ilmu bersifat logis empiris. Logis dan tidaknya teori filsafat akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan atau teori tersebut. Oleh karena itu, fungsi argumen sama pentingnya fungsi data dalam ilmu pengetahuan.

C. Cara Kerja Ilmu Ilmu
Ilmu-Ilmu Alam
Ilmu-ilmu alam memandang alam dari satu jurusan melalui ukuran atau metode, saran, dan peninjauan tertentu. Ilmu alam mencari keterangan mengenai alam yang bertubuh atau benda-benda di alam yang dapat diketahui dengan pancaindera (alat tertentu yang membantu fungsi pancaindera agar bekerja lebih sempurna). Cabang-cabang ilmu alam yang muncul pertama kali adalah ilmu perbintangan (astronomi) disusul matematik yang merupakan sarana berfikir. Kemudian muncul ilmu fisika, kimia,botani zoologi, ilmu bumi dan lain-lain. Pada awalnya ilmu-ilmu alam hanya bersifat teoritik, manusia semata-mata ingin mengetahui sfat-sifat benda dan kodrat alam. Ketika manusia menerapkannya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam kehidupan, maka timbulah ilmu-ilmu praktik. Ilmu-ilmu alam sangat penting bagi kehidupan manusia terutama untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan material dan praktis manusia. Yang termasuk ilmu ini, seperti fisika, biologi, kimia, matematika, geologi, geografi, dan lain sebagainya lahir untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, material, dan mekanis teknis dari manusia terhadap alam ini.

Dilihat dari sifat objeknya, cara kerja ilmu alam bisa dirangkum dalam prinsip-prinsip seperti berikut:

  1. Gejala Alam Bersifat Fisik-Statis. Ahli ilmu-ilmu alam berhubungan dengan gejala-gejala alam yang sifatnya fisik yang teramati dan terukur. Dari sifatnya yang fisikal, terukur, dan teramati, gejala-gejala alam memiliki sifat statis atau tetap dari waktu ke waktu (tidak mengalami perubahan) sehingga mengakibatkan objek yang diamati juga relatif lebih sederhana dan sedikit.
  2. Objek Penelitian Bisa Berulang. Karena sifat gejala alam fisikal statis, objek penelitian dalam ilmu-ilmu alam tidak mengalami perubahaan atau tetap. Dengan sifat ini, objek penelitian dalam ilmu-ilmu alam bisa diamati secara berulang-ulang oleh peneliti atau pengamat. Sifat-sifat gejala alam adalah seragam dan bisa diamati kapanpun.
  3. Pengamatan Relatif Mudah dan Simpel. Pengamatan dalam ilmu-ilmu alam lebih mudah karena bisa dilakukan secara langsung dan bisa diulang kapanpun. Kata mengamati dalam ilmu alam lebih dari sekedar interaksi langsung dengan pancaindera manusia, yang lingkup kemampuannya sangat terbatas. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, manusia menggunakan alat-alat bantu seperti mikroskop, teleskop, alat perekam gelombang dan sebagainya. Jika seseorang ingin menyatakan bahwa ia mendapatkan suatu gejala alam baru yang belum terdaftar dalam pembendaharaan ilmu-ilmu alam maka ia perlu memberikan informasi tentang lingkungan, peralatan serta cara pengamatan yang digunakan, sehingga memungkinkan orang lain mengamati kembali jika ingin mengujinya.
  4. Subjek Pengamat (Peneliti) Lebih Sebagai Penonton. Prinsip pengamatan dalam ilmu-ilmu alam adalah prinsip objektif, artinya kebenaran disimpulkan berdasarkan objek yang diamati. Ilmuan alam adalah penonton alam, dia hanya mengamati alam dan kemudian memperlihatkan kepada orang lain hasil pengamatannya, dimana sedikitpun tidak melibatkan subjektifitasnya, tetapi hanya sekedar menunjukkan hasil tontonannya. Karena sisi dominan pengamatan dari ilmu-ilmu alam adalah lebih dari sekedar “penonton”, maka tujuan aktivitas pengamatan adalah hanya sekedar menjelaskan objeknya menurut penyebabnya, yang dalam istilah Dilhtey disebut Erklaren. dalam Elrklaren ini, pengalaman dan teori bisa dipisahkan, artinya ada suatu jarak atau antara pengamat dan yang diamati. Sebagai “penonton”, pengamat tidak terlibat dalam objek yang diamati, dan karenanya tugasnya hanya menyelesaikan hasil pengamatannya.
  5. Memiliki Daya Prediktif yang Relatif Lebih Mudah Dikontrol. Ilmu-ilmu alam tidak akan menarik apabila sebatas mengumpulkan informasi tentang gejala-gejala alam semata kemudian membangun teori. Melainkan gejala-gejala alam yang diketahui dan dirumuskan dalam teori-teori itu bisa digunakan untuk memprediksikan kejadian-kejadian yang dimungkinkan akan timbul dari gejala tersebut.

Ilmu-Ilmu Sosial-Humaniora tidak sepesat perkembangan ilmu-ilmu alam.
Ilmu sosial humaniora timbul karena manusia menyadari akan adanya masalah dalam hubungan manusia dalam masyarakat. Berbagai macam segi kehidupan sosial dipelajari, sehingga melahirkan ilmu ekonomi, hokum, sosiologi, dan lain-lain. Ilmu sosial juga ada yang bersifat teoritik dan praktik. Ilmu teoritik semata-mata bertujuan untuk mendapatkan pengertian tentang kedudukan sifat-sifat sosial. Ilmu praktik, bertujuan merancang jalan untuk mencapai beberapa tujuan hidup, misalnya : manajemen, ilmu pemerintahan, pedagogic ( ilmu mendidik ).

Perkembangan ilmu-ilmu social humaniora tidak sepesat perkembangan ilmu-ilmu alam. Objek kajian ilmu sosial humaniora tidak sekedar sebatas basic dan material tetapi lebih dibalik yang fisik dan materi dan bersifat lebih kompleks. Nilai manfaatnya tidak bisa langsung dirasakan karena harus berproses dalam wacana yang panjang dan memerlukan negosiasi, kompromi dan consensus.Ilmu-ilmu sosial humaniora bersifat abstrak dan psikologis. Dilihat dari sifat objeknya, cara kerja ilmu sosial humaniora sebagai berikut :

  1. Gejala Sosial Humaniora Bersifat Nonfisik, Hidup, dan Dinamis, Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, dimana gejala-gejala alam yang ditelaah lebih bersifat “ mati” baik yang ada dalam alam, pikiran, maupun dalam diri manusia, gejala-gejala yang diamati dalam ilmu sosial humaniora bersifat hidup dan bergerak secara dinamis. Objek studi ilmu-ilmu sosial-humaniora adalah manusia yang lebih spesifik pada aspek sebelah dalam atau inner wordnya dan bukan outer wordnya yang menjadi ciri-ciri ilmu alam.
  2. Objek Penelitian Tidak Bisa Berulang. Gejala-gejala sosial-humaniora memiliki keunikan dan kemungkinan bergeak dan berubahnya sangat besar, karena mereka tidak stagnan dan tidak statis.masalah sosial dan kemanusiaan sering bersifat sangat spesifik dalam konteks historis tertentu. Kejadian sosial mungkin yang dulu pernah terjadi barangkali secara mirip bisa terulang dalam masa sekarang atau nanti, tetapi tetap secara keseluruhan tak bisa serupa. Gejala-gejala sosial humaniora cenderung tidak bisa ditelaah secara berulang-ulang, karena gejala tersebut bergerak seiring dengan dinamika konteks historisnya. Ilmu-ilmu sosial humaniora hanya memahami, memaknai dan menafsirkan gejala-gejala sosial-humaniora, menemukan dan menerangkan secara pasti. Pemahaman, pemaknaan, dan penafsiran ini lebih besar kemungkinan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, bahkan pertentangan, daripada menghasilkan kesimpulan yang sama.
  3. Pengamatan Relatif Lebih Sulit dan Kompleks. Jadi dalam mengamati mereka sudah barang tentu lebih sulit dan kompleks. Objek ilmu-ilmu sosial-humaniora adalah apa yang dibalik penampakan fisik dari manusia dan bentuk-bentuk hubungan sosial mereka. Van Dalen menambahkan bahwa ilmuwan alam berkaitan dengan gejala fisik yang bersifat umum, dan pengamatannya hanya meliputi variable dalam jumlah yang relatif kecil dan karenanya mudah diukur secara tepat dan pasti; sedangkan ilmu-ilmu sosial-humaniora mempelajari manusia baik selaku perorangan maupun selaku anggota dari suatu kolompok sosial yang menyebabkan situasinya bertambah rumit, dan karenanya variable dalam penelaahan sosial-humaniora relative lebih banyak dan kompleks serta kadang-kala membingungkan. Pengamatan dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora adalah jauh lebih kompleks, subjek dan objek penelitian adalah makhluk yang sama-sama sadar dan jelas tidak mudah menangkap dan ditangkap.
  4. Subjek Pengamat (Peneliti) juga sebagai Bagian Integral dari Objek yang Diamati. Dalam ilmu-ilmu alam, subjek pengamat bisa mengambil jarak dan focus pada objektivitas yang diamati, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora karena subjek yang mengamati dan objek yang diamati adalah manusia yang memiliki motif dan tujuan dalam setiap tingkah lakunya, maka subjek yang mengamati atau peneliti tidak mungkin bisa mengambil jarak dari objek yang diamati dan menerapkan prinsip objektivistik, dan tampaknya lebih condong ke prinsip subjektivistik. Subjek pengamat sosial-humaniora bukanlah sekedar sebagai spectator atas suatu kejadian sosial-humaniora, melainkan terlibat baik secara emosional maupun rasional dalam dan merupakan bagian integral dari objek yang diamati.
  5. Memiliki Daya Prediktif yang Relatif Lebih Sulit dan Tak Terkontrol. Dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora, pola perilaku yang sama belum tentu mengakibatkan kejadian yang sama, bukan berarti hasil temuan dalam ilmu-ilmu sosia ltidak bisa dipakai sama sekali untuk meramalkan kajadian kejadian sosial lain sebagai akibatnya dalam waktu dan tempat yang berlainan, tetep bisa tetapi tidak mungkin sepasti dan semudah dalam ilmu-ilmu alam.

Ilmu-Ilmu Agama
Suatu disiplin ilmu yang penting dalam kehidupan manusia yang berkembang sejak jaman dulu ketika manusia dihadapkan pada kekuatan-kekuatan adikodrati yang dia alami dalam hidupnya Mereka kemudian membangun ritual-ritual keagamaan sebagai symbol pemahaman tentang hidup dan realitas hubungan manusia dengan alam dan kekuatan adikodrati. Dalam agama-agama besar terdapat klaim-klaim pengetahuan dan di balik yang ditemukan banyak teori-teori. Di dalam ajaran agamapun tersembunyi banyak ilmu. Ciri tersebut tergambar pada cara kerja ilmu-ilmu keagamaan.;

  1. Gejala Keagaman sebagai Ekspresi Keimanan dan Pemahaman atas Teks Suci. Gejala keagamaan jelas tampak pada perilaku-perilaku keagamaan orang beragama dan masyarakat beragama, dan pada karya seni dan budaya meski intinya juga ekspresi dari penghayatan keagamaan orang beragama. Berbeda dengan gejala alam, dan lebih dekat dengan gejala sosial-humaniora, gejala keagamaan juga merupakan sesuatu yang yang bergerak, tidak statis. Gerak gejala keagamaan ini sekaligus mengindikasi suatu dinamika keimanan sebagai hasil dari pengalaman dan pemahaman atas teks-teks suci keagamaan yang diyakini. Dalam ilmu-ilmu keagamaan, gejala keagamaan selalu dan pasti merupakan ekspresi dari keimanan dan pemahaman keagamaan atau religious. Ilmu-ilmu keagamaan, objek kajiannya adalah manusia beragama dan lebih focus pada inner worldnya juga, tetapi inner worldnya yakni aspek keimanan teologisnya. Jika dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora, manusia dipandang secara umum, dalam ilmu-ilmu agama melihat manusia pada religiusitasnya.
  2. Objek Penelitian Unik dan Tak bisa Diulang. Objek penelitian unik karena menyangkut keyakinan keagamaan. Objek penelitian ilmu-ilmu keagamaan adalah menyangkut perilaku orang beragamanya dan teks-teks suci keagamaan yang diyakini orang beragama. Sama dengan ilmu-ilmu sosial- humaniora, objek penelitiandari ilmu-ilmu keagamaan juga bersifat tak bisa diulang-ulang, karenakejadian keagamaan sebagaimana tercermin dalam perilaku keagamaan orang beragama atau masyarakat beragama pada kurun waktu dan tempat tertentu tidak persis seperti kejadian pada awalnya.
  3. Pengamatan Sulit dan Kompleks dengan Interpretasi Teks-Teks Suci Keagamaan. Pengamatan dalam ilmu-ilmu kegamaan mirip dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora, yakni sulit dan kompleks, karena melihat dan memaknai apa yang ada di balik kegiatan dan perilaku fisik dan empiris manusia beragama. Karena kegiatan dan perilaku fisik dan empiris manusia beragama adalah bentuk ekspresif dari keimanan mereka pada Tuhan sebagai hasil pemahaman mereka terhadap Teks-teks Suci terkait dengan fenomena kegiatan dan perilaku manusia beragama yang bisa ditangkap.
  4. Subyek Pengamat (Peneliti) juga sebagai Bagian Integral dari Objek yang Diamati. Prinsipnya sama seperti dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora, pengamat atau peneliti dalam ilmu-ilmu keagamaan juga tidak bisa dilepaskan dan merupakan bagian integral dari objek yang diamati apabila yang diamati adalah perilaku sosial-humaniora manusia beragama atau aktivitas-aktivitas keagamaan.. Ketika mengkaji teks-teks suci keagamaan hasil interpretasi atas teks-teks suci, seorang pengamat juga terlibat secara emosional dan rasional dalam memahami dan menyimpulkan makna mereka.
    Memiliki Daya Prediktif yang Relatif Lebih Sulit dan Tak Terkontrol. Sama dengan ilmu-ilmu sosial-humaniora, suatu teori sebagai hasil pengamatan terhadap aktivitas keagamaan tidak serta merta bisa dengan mudah untuk meramalkan bisa dengan mudah untuk meramalkan aktifitas keagamaan yang lainnya yang akan terjadi. Hal ini dikarenakan dalam ilmu-ilmu keagamaan, pola-pola perilaku keagamaan yang sama belum tentu akan mengakibatkan kejadian berikutnya sama. Bukan berarti hasil temuan dalam ilmu-ilmu keagamaan tidak bisa dipakai sama sekali untuk meramalkan kejadian yang bersifat religious lain sebagai akibat dalam waktu dan tempat yang berlainan, tetap bisa tetapi tidak mungkin sepasti dan semudah dalam ilmu-ilmu alam. Dalam ilmu-ilmu keagamaan, berbeda dengan ilmu-ilmu sosial-humaniora pada umumnya, harus juga dipertimbangkan keragaman pemahaman orang-orang beragama terhadap ajaran agamanya

D. Hubungan Antar Ilmu dan Aplikasinya Dalam Pengembangan Keislaman

Kerja ilmu-ilmu keislaman bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi, disamping sumber penalaran rasional dan pengalaman empiris keislaman. Keterkaitan sumber-sumber studi islam tersebut telah melahirkan banyak disiplin ilmu dalam Islam yang mengikuti perkembangan ilmu-ilmu. Prinsip kerja ilmu-ilmu keislaman mengikuti cara kerja ilmu-ilmu keagamaan, yakni mempertimbangkan gejala-gejala keislaman yang tercermin dalam karya-karya keislaman, perilaku, dan aktivitas keagamaan Islam dari para penganutnya dengan disertai penginterpretasian ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi, karena karya-karya dan aktivitas tersebut merupakan ekspresi keberagamaan Islam.

Yang terkandung dalam studi Islam Interkonektif adalah persoalan bagaimana Islam memahami dan memegangi realitas kehidupan ini dengan berbagai ragamnya, apakah itu tentang manusia, alam, ataukah Tuhan yang dalam hubungan ketiganya melahirkan berbagai realitas yang semakin beragam, politik, sosial, budaya, pendidikan, hukum, hak asasi manusia, ekologi, spiritualitas, dan lain sebagainya. Harus adanya interkoneksi dan interkomunikasi antar disiplin-disiplin keilmuan Islam.

Interkoneksitas dan interkomunikasi dalam studi Islam harus terjadi baik sisi internalnya, yakni ilmu-ilmu keislaman maupun sisi eksternalnya, yakni ilmu-ilmu Islam denga ilmu-ilmu sosial-humaniora dan ilmu-ilmu alam. Sebagai contoh misalnya ketika harus dijelaskan bagaimana pandangan Islam tentang masyarakat ideal dan sehat. Maka perlu dijelaskan dari berbagai sudut pandangnya, sisi normatifnya yang kemudian diinterpretasikan secara multidisipliner dengan melibatkan berbagai pendekatan baik psikologi, hukum, HAM, sosiologi, filosofis, ekonomi, pendidika, budaya, nilai-nilai keadaban, kebersamaan, kebertentangan, ekologi, dan lain sebagainya. Dengan demikian, keilmuan Islam yang Interkonektif dan interkomunikatif mengakui bahwa suatu realitas terjadi selalu melibatkan berbagai dimensi kehidupan dari manusia. Menyikapinya hal tersebut secara komprehensif dengan melibatkan berbagai prespektif. Semua disiplin ilmu memiliki kelebihan dan nilai konstribusi yang spesifik terhadap suatu realitas.

Rajutan interkoneksi dan interkomunikatif dalam studi Islam :

Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber normatife Islam. Dengan berbagai pendekatan, motode dan focus objeknya melahirkan ilmu-ilmu tradisional Islam, yakni tafsir, hadis, kalam, fiqh, tasawuf, lughah, tarikh, falsafah. Perkembangan ilmu moderen dan metodologi pada ilmu-ilmu alam dan sosial-humaniora menjadi kebutuhan untuk memperkaya makna dan kontekstualisasi. Ilmu-ilmu keislaman menggunakan prespektif ilmuseperti sejarah, filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, arkeologi, filologi, dan sebagainya. Sebaliknya ilmu-ilmu keislaman juga bisa mengispirasi dan memperkaya pengembangan ilmu-ilmu. Interkoneksi dan interkomunikasi antar disiplin ilmu akan mendinamisir ilmu-ilmu baru, dan tidak cukup hanya dalam internal keilmuan belaka, melainkan pengembangan tersebut menyentuh isu-isu actual dan keyakinan seperti plurarismr agama, hokum, demokrasi, etika lingkungan, gender, HAM, dan lain sebagainya. Pengembangan studi Islam berpijak pada tiga hadharah, yakni hadharah an-nash, hadharah falsafah, dan hadharah al-‘ilm.

Ke depan pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistic dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas. Jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor-sektor tradisional maupun moderen karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menompang kehidupan di era informasi globalisasi. Disamping itu, tergambar sosok manusia beragama (Islam) yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial, dan humaniora kontemporer. Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi dengan landasan etika moral keagamaan yang objektif dan kokoh, karena keberadaan Al-Qur’an dan as-Sunah yang dimaknai secara baru, selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup keagamaan yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan, Semua itu diabdikan untuk kesejahteraan manusia bersama-sama tanpa pandang latar belakang etnisitas, agama ras, maupun golongan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang menjelaskan tentang adanya suatu hal yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman, kesadaran, informasi yang pasti, lebih praktis, sistematis, metodis, ilmuah, dan mencakup kebenaan umum mengenai objekstudi yang lebih bersifat (natural).

Cara kerja ilmu-ilmu yang berobjek pada realitas kehidupan manusia:

  1. Ilmu-ilmu alam : melihat sisi auter worldnya, gejala biasa di ulang, eksplanatif, erklaren, daya prediktif mudah dipastikan.
  2. Ilmu-ilmu sosial : melihat sisi inner worldnya, gejala tak berulang, versthe, peroleh makna, daya prediksi sulit dipastikan.
  3. Ilmu-ilmu agama : melihatr sisi inner worldnya dan sisi toelogisnya, gejala tak berualang, interkreatif teks keagamaan dan pemaknaan gejala keagamaan, daya prediksi sulit dipastikan.

Di era modern dan pasca modern, dalam memahami dan memecahkan suatu masalah tidak bisa hanya melakukan pendekatan dari satu sudut pandang saja, misalnya dilihat dari faktor psikologis, atau sosiologis, atau religius, atau yang lainnnya semata. Pasalnya disiplin ilmu tidak bisa lagi bekerja sendirian dalam memecahkan masalah, namun membutuhkan bantuan dari semua disiplin ilmu. Agama sangat arif dalam memperlakukan alam sebagai lingkungan tempat tinggal manusia yang sudah seharusnya dikembangkan sebagai dasar pengembangan ilmu. Akibat meninggalkan agama, ilmu dapat mengeksplorasi alam sehingga terjadi berbagai kerusakan ekologis kesadaran akan kelemahan dikotomi ilmu mendrong ke arah gagasan baru interkoneksi dan intergrasi antar disiplin-disiplin ilmu, baik ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu sosial-humaniora, dan ilmu-ilmu alam.

About Giri Wahyu Pambudi

Giri Wahyu Pambudi - Seorang Pemuda Desa yang berkeinginan ikut membangun Indonesia dengan Sedikit Ilmu yang dimiliki SMK N 2 Wonogiri lulus 2015 UNIV Negeri Yogyakarta lulus 2019 2019 - Sekarang Bekerja di SMK Gajah Mungkur 1 Wuryantoro, Wonogiri

Check Also

Materi Sosial Budaya Dasar Peradaban Manusia

Pengertian Manusia Menurut Sokrates, Manusia adalah makhluk hidup berkaki dua yang tidak berbulu dengan kuku …

Tinggalkan Balasan